Selasa, 13 Februari 2018

Ulama Kontemporer Yang Tidak Setuju Zakat Profesi

Di antara kalangan yang tidak setuju dengan adanya zakat profesi, terdiri para tokoh ulama di masa modern dan juga beberapa lembaga fatwa yang terkenal.

a. Dr. Wahbah Az-Zuhaili

Dalam tanya jawab langsung dengan ulama asal Suriah ini di Masjid Baitul Mughni, Penulis berkesempatan untuk bertanya kepada beliau tentang kedudukan zakat profesi ini.

Jawaban beliau tegas sekali saat itu, bahwa zakat profesi ini tidak punya landasan yang kuat dari Al-Quran dan As-Sunnah. Padahal zakat itu termasuk rukun Islam, dimana landasannya harus qath’i dan tidak bisa hanya sekedar hasil pemikiran dan ijtihad pada waktu tertentu.

Dalam pendapatnya ini, Dr. Wahbah Az-Zuhaili bisa Penulis golongkan sebagai kalangan ulama moderat kontemporer yang tidak menerima keberadaan zakat profesi.

b. Syeikh Bin Baz

Beliau berkata: "Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati. [1]

c. Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin

Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia.

“Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.

Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.” [2]

d. Hai'atu Kibaril Ulama

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya:

"Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul)." [3]

e. Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di asrama haji Pondok Gede Jakarta pada tanggal 25-28 Juli 2002 bertepatan dengan 14-17 Rabiul Akhir 1423 hijriyah telah menetapkan hukum-hukum terkait dengan zakat profesi. [4]

Berikut kutipannya :

”Intinya pada dasarnya semua hasil pendapatan halal yang mengandung unsur mu’awadhah (tukar-menukar), baik dari hasil kerja profesional/non-profesional, atau pun hasil industri jasa dalam segala bentuknya, yang telah memenuhi persyaratan zakat, antara lain : mencapai satu jumlah 1 (satu) nishab dan niat tijarah, dikenakan kewajiban zakat.”

Dari keputusan ini kita bisa menyimpulkan, apabila seseorang mendapat gaji atau honor, tidak langsung wajib berzakat, karena harus terpenuhi dua hal, yaitu nishab dan niat tijarah. Niat tijarah maksudnya adalah ketika seseorang bekerja, niatnya adalah berdagang atau berjual-beli. Dan ini sulit dilaksanakan, lantaran agak sulit mengubah akad bekerja demi mendapat upah dengan akad berjual beli. Oleh karena itu keputusan itu ada tambahannya :

”Akan tetapi realitasnya jarang yang bisa memenuhi persyaratan tersebut, lantaran tidak terdapat unsur tijarah (pertukaran harta terus menerus untuk memperoleh keuntungan.”

Sekilas kita akan sulit memastikan sikap dari musyarawah ini, apakah menerima zakat profesi atau tidak. Karena keputusan ini masih bersifat mendua, tergantung dari niatnya.

Akan tetapi tegas sekali bahwa kalau yang dimaksud dengan zakat profesi yang umumnya dikenal, yaitu langsung potong gaji tiap bulan, bahkan sebelum diterima oleh yang berhak, keputusan ini secara tegas menolak kebolehannya. Sebab dalam pandangan mereka, zakat itu harus berupa harta yang sudah dimiliki, dalam arti sudah berada di tangan pemiliknya.

f. Dewan Hisbah Persis

Persatuan Islam (PERSIS) yang diwakili oleh Dewan Hisbah telah berketetapan untuk menolak zakat profesi, dengan alasan karena zakat termasuk ibadah mahdhah. [5]

Barangkali maksudnya, kita tidak dibenarkan untuk menciptakan jenis zakat baru, bila tidak ada dalil yang tegas dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan zakat profesi tidak punya landasan yang sifatnya tegas langsung dari keduanya.

Namun insitusi ini menerima adanya kewajiban infaq bagi harta yang tidak terkena zakat. Maka karena bukan termasuk zakat, gaji itu perlu diinfaqkan, tergantung kebutuhan Islam terhadap harta tersebut.

Maka tidak ada besarannya yang baku, dan dalam hal ini pimpinan jam’iyah dapat menetapkan besarnya infaq tersebut.

g. Muktamar Zakat di Kuwait

Dalam Muktamar zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, masalah zakat profesi telah dibahas pada saat itu, lalu para peserta membuat kesimpulan:

“Zakat gaji dan profesi termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan sebagainya".

"Profesi jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai nishob dan haul lalu mengeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai nishab".

"Adapun gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishob) maka dizakati di akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5% setiap tahun“. [6]

(dinukil dari Seri Fiqih Kehidupan (4) : ZAKAT, karya Ahmad Sarwat, Lc., MA. hal. 293)

REFERENSI :

1. Maqalaat Al Mutanawwi'ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134

2. Majmu' Fatawa wa Ar Rasaa'il 18/178

3. Majmu' Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360

4. Ahkamul Fuqaha fi Muqarrarat Mu’tamarat Nahdhatil Ulama, hal. 556-557

5. Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) tentang Akidah dan Ibadah, hal. 443

6. Abhats wa A’mal Mu’tamar Zakat Awal hlm. 442-443, dari Abhats Fiqhiyyah fi Qodhoya Zakat al-Mua’shiroh 1/283-284.

0 komentar:

Posting Komentar

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net