Oleh : KH. Muhammad Shiddiq al Jawi
Tanya :
_Ustadz, mohon penjelasan tentang hukum zakat profesi? (Widianto Tulus, Muara Enim)
Jawab :
Zakat profesi dikenal dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau _zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta). (Yusuf Al-Qaradhawi, _Fiqh az-Zakah_, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, _Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi, Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17).
Zakat profesi menurut penggagasnya didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab. Misal profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. (Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, hal. 103; _Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95).
Menurut al-Qaradhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah yang wajib dikeluarkan 2,5%. Zakat profesi dikeluarkan langsung saat menerima atau setelah diperhitungkan selama kurun waktu tertentu. Misal, jika seseorang gajinya Rp500.000/bulan, dia dapat mengeluarkan langsung zakatnya 2,5% setelah gajian tiap bulan. Atau membayar satu kali tiap tahun sebesar 12 x 2,5% x Rp500.000. (Didin Hafidhuddin, ibid, hal. 104).
Landasan fikih _(at-takyif al-fiqhi)_ zakat profesi ini menurut Al-Qaradhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk _al-maal al-mustafaad_(harta perolehan). _Al-maal al-mustafaad_ adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Ma'khul) yang mengeluarkan zakat dari _al-maal al-mustafaad_ pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud). (Yusuf Al-Qaradhawi, _ibid._, I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, _ibid._, II/866).
Menurut pentarjihan kami, zakat profesi tidak mempunyai dalil yang kuat sehingga hukumnya tidak wajib.
Alasan kami :
Pertama, dalil utama dari zakat profesi adalah ijtihad sahabat mengenai _al-maal al-mustafaad_ yang tidak mensyaratkan haul. Padahal ijtihad sahabat _(mazhab al-shahabi)_ bukanlah dalil syariah yang kuat _(mu’tabar)_. (Taqiyuddin an-Nabhani, _al-Syakhshiyah al-Islamiyah,_ III/418).
Kedua, pendapat yang lebih kuat _(rajih)_ mengenai _al-maal al-mustafaad_ adalah pendapat jumhur ulama, yaitu harta tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya, hingga memenuhi syarat berlalunya haul. Inilah pendapat sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Juga pendapat imam mazhab yang empat. (Al-Yazid Ar-Radhi, _Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin,_ hal.19; Wahbah az-Zuhaili, _al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,_ II/866).
Ketiga, tidak tepat penilaian Al-Qaradhawi bahwa hadis tentang haul adalah hadis lemah (dhaif). Al-Qaradhawi sebenarnya mengikuti pendapat Imam Ibnu Hazm yang melemahkan hadis haul dari jalur Ali bin Abi Thalib RA, karena ada perawi bernama *Jarir bin Hazim* yang dinilai lemah. (Al-Qaradhawi, _Fiqh az-Zakah,_ I/494; Ibnu Hazm, _Al-Muhalla,_ VI/70). Padahal Ibnu Hazm telah meralat penilaiannya, dan lalu mengakui bahwa Jarir bin Hazim adalah perawi hadis yang sahih. (Ibnu Hazm, _Al-Muhalla,_ VI/74).
Kesimpulannya, zakat profesi tidak wajib dalam Islam karena dalil-dalilnya sangat lemah. Maka uang hasil profesi tidak sah dikeluarkan zakatnya saat menerima, tapi wajib digabungkan lebih dulu dengan uang yang sudah dimiliki sebelumnya. Zakat baru dikeluarkan setelah uang gabungan itu mencapai nishab dan berlalu haul atasnya. (Ali as-Salus, _Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah,_ hal. 523). _Wallahu a’lam._
Yogyakarta, 13 Agustus 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi
0 komentar:
Posting Komentar